Wahai Da’i, Pijakkan Kakimu Di Bumi! Seruan itulah yang senantiasa terngiang dan acap kali menampar-namparku ketika Pak Agus tengah membawakan salah satu materi pada sebuah daurah dakwah kampus. Wahai da’i, pijakkan kakimu di bumi! Apabila yang telah kulakukan selama ini bisa disebut sebagai dakwah, kupikir selama itu pula aku telah salah arah. Ketika dakwah yang otomatis berada di pundakku karena aku seorang muslim ini, kurasakan sebagai beban, terseok-seok, seringkali membuatku sakit secara fisik dan psikis, itu pun karena aku telah salah arah. Aku begitu “melangit”.
Ternyata dakwah adalah seni. Begitu indah bila semua komponen yang berbeda-beda itu bersatu membentuk satu harmoni yang selaras. Pada sebuah lukisan berbagai macam warna bersatu dalam satu kanvas. Tentu saja merah berbeda dengan hijau, biru, hitam, atau pun kuning. Coba bayangkan bila dalam satu kanvas hanya terdapat satu warna… Alangkah buruknya lukisan itu (ini mataku yang melihat, dan aku bukanlah seorang ahli di bidang lukisan). Senar gitar bergetar dengan getaran yang berbeda, menghasilkan nada-nada yang berbeda pula walaupun dalam sebuah lagu yang sama.
Filosofi menerima perbedaan inilah yang membuat “dakwah” tidak lagi sebagai monster yang menakutkan di mataku. Betapa naifnya bila ada orang-orang yang mengaku sebagai da’i, mengukur kadar keimanan seseorang dari seberapa lebar jilbabnya, tanda hitam di dahinya, jenggot dan celananya yang ngatung, majalah yang ia baca, bahasa yang dipakainya sehari-hari bahkan partai apa yang menjadi pilihannya pun dapat menjadi “ukuran” betapa ia adalah “saudara” kita atau bukan. Seperti betapa naifnya diriku beberapa waktu yang lalu. Apakah kadar keimanan seseorang itu dapat terjamin dengan model tarbiyah yang sama, misalnya? Adakah tanda tidak beriman di wajahnya apabila ia tidak memakai sistem tarbiyah yang serupa dengan kita? Sampai saat ini fenomena seperti itu masih banyak sekali kita temui…atau mungkin justru sudah mengerak di dalam diri kita masing-masing?
Wahai da’i, pijakkan kakimu di bumi! Jangan menghakimi, tebarkan saja keindahan Islam melalui dirimu, senyummu, matamu, lisanmu, sekujur tubuhmu. Sehingga apabila kau berjalan, tersenyum, melihat, bertutur kata…sanggup mengingatkan orang lain pada Allah, sanggup memperlihatkan bahwa sesungguhnya Islam itu indah, tidak arogan, begitu lemah lembut dan menghargai keunikan pribadi. Apabila kita seorang petani durian, kupikir, kita tidak usah repot-repot berteriak, menggembar-gemborkan bahwa buah durian yang kita bawa ini matang dan manis. Kita tinggal mengikuti petunjuk insinyur pertanian yang mengajarkan dan mencontohkan bagaimana supaya bibit unggul yang kita punya itu dapat berbuah dengan baik, optimal, dan berkualitas tinggi. Selanjutnya, walaupun kita hanya duduk di pinggir jalan, orang lain pun akan berdatangan dengan sendirinya karena telah mencium bau durian dari kejauhan. Saat mereka mencicipi buah durian yang kita bawa dan merasakan kepuasan, merekalah yang akan menyebarluaskan betapa enaknya durian dagangan kita. Bahkan bila ada yang tidak sempat, sedang diet barangkali, atau pernah punya pengalaman buruk dengan buah durian, bau wangi yang tercium pastilah takkan luput dari ingatannya. Mungkin di lain waktu, lain kesempatan, lain pedagang, dia akan menerima dan mengakui betapa enaknya durian yang berkualitas seperti ini.
Begitu pula dalam berdakwah. Tak usahlah kita teriak-teriak mengatakan bahwa Islam itu indah, Islam itu bersih, Islam itu begini dan begitu. Buat saja diri kita seperti yang (ingin) kita sampaikan. Kupikir, bahasa tubuh dan bahasa jiwa jauh lebih banyak kosakatanya ketimbang kosakata yang tersedia.
Kemarin, saat mendengar penuturan Pak Agus, aku terhenyak. Betapa sisa waktu yang kumiliki tidaklah banyak. Misi yang kubawa, janji yang kuucapkan di hadapan Rabbku, belumlah tertunaikan dengan baik. Dan itu semua terbatas dengan waktu. Setiap detik yang berlalu telah menyeretku semakin dekat dengan kuburku. Setiap detik yang terlewat memaksaku selalu ingat masa dimana malaikat Izrail datang menyapaku. Ah, bagaimanakah rupaku saat itu? Tersenyumkah atau menangis tersedu-sedu?
Allah menciptakanku sebagai manusia dan menempatkanku di bumi ini. Tugasku beribadah pada-Nya, menyembah-Nya, dan Menyucikan-Nya. Sebagai sarananya, Allah menciptakan alam semesta yang senantiasa tunduk dan taat pada-Nya. Tumbuh berkembang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan sang Rabb Yang Maha Berkuasa atas apapun juga. Bergerak dinamis mengikuti perubahan yang terjadi. Namun sekali lagi, semua itu terbatas dengan waktu. Kematian telah mengintai di setiap detik yang kulalui. Matanya yang tajam menatapku selalu… menanti saatnya aku kembali.
Begitu pula halnya dengan dakwah kampus. Ada misi yang ku emban disini. Misiku adalah menularkan kebahagiaan hidup bersama Islam kepada orang lain. Misiku adalah membantu orang lain meningkatkan kualitas pribadinya. Misiku adalah menjadikan diri ini bermanfaat sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya bagi orang lain tanpa mereka mengenalku secara pribadi. Misiku adalah mendorong orang lain (dan diriku sendiri) untuk bergerak secara konstan menuju titik kesempurnaan. Misiku adalah menebarkan pesona Islam. Aku baru tersadar (saat ini, ketika aku sedang menulis) bahwa misi yang kuemban tidaklah sekedar “menghijaukan” kampus. Bukanlah sekedar rutinitas belaka. Bukanlah sebuah “keterikatan” yang menyesakkan dada. Atau kepatuhan semu yang memuakkan. Ternyata misi yang kuemban di kampus ini dan saat ini, lebih jauh jangkauannya ke masa depan. Melesat tiada terkejar bahkan oleh angan-angan.
Misi besarku adalah menebar benih Laa ilaha ilallah di setiap hati manusia. Pada hati yang subur dan gembur, hati yang kering kerontang, atau hati yang penuh ilalang. Semuanya berhak akan pesona dan keindahan benih itu. Kalaupun benih itu tidak tumbuh di hadapanku atau bahkan aku mati kehausan di padang gersang dan tercekik ilalang, kuyakin suatu saat nanti benih yang kutanam akan tumbuh juga. Suatu hari kelak bila saatnya tiba, bila benih itu menemukan tempat yang lebih baik. Bukankah sebuah tempat itu selalu tumbuh berkembang dan senantiasa bergerak dinamis?
Namun sekali lagi langkahku terbentur oleh terbatasnya waktu. Walau cita-cita dan harapanku telah melesat jauh, kakiku terikat oleh waktu. Sisa waktuku tak lama lagi. Aku akan segera mati atau pergi. Bila aku mati, kesempatanku dalam beramal selesailah sudah. Bila aku pergi, babak baru dalam hidupku telah dimulai. Jadi, segalanya harus direncanakan dengan baik dan matang. Berpijak di bumi dan menjadi rahmat bagi semesta alam, itulah tugas yang kita emban. Kita adalah da’i bahkan sejak kita dilahirkan dan menangis untuk pertama kali. Sekian.
By : Devi Ayu
PS : Tulisan ini saya full kopi paste, saya dapat dari artikel lama. Dan sepertinya tulisan ini belum ada yang menuliskannya di dunia maya. Saya sertakan nama sang penulis artikel ini. Kenapa saya kopi tulisan ini? karena setelah membacanya saya merasa tulisan akan sangat memotivasi untuk orang-orang yang bergerak dijalan dakwah. picture from.
0 comments: on "Wahai Da'i, Pijakkan Kakimu Di Bumi!"
Post a Comment